MA-MA.ID, Ambon: Kebijakan PIT berbasis kuota yang digulirkan oleh KKP akan memperparah dampak krisis iklim yang selama ini dialami oleh nelayan skala kecil dan atau nelayan tradisional di Indonesia. Menurut Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, KKP sedang mendorong maladaptasi krisis iklim. Maladaptasi adalah tindakan atau adaptasi yang gagal mengurangi kerentanan tetapi malah meningkatkannya.
“Dalam konteks ini, maladaptasi adalah berupa kebijakan yang dapat menyebabkan peningkatan risiko (dampak buruk) terkait (dengan krisis) iklim yang merugikan, menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap krisis iklim, atau menyebabkan penurunan kesejahteraan (well-being), baik sekarang atau pada masa yang akan datang,” ungkap Manajer Kampanye Laut Eksekutif Nasional WALHI, Farid Ridwanuddin dalam diskusi bersama awak media di Basnuf Café kota Ambon, Selasa (27/09).
Menurut Parid, krisis iklim telah menghancurkan kehidupan ekonomi nelayan serta menyebabkan nelayan meninggal di laut lebih banyak. Berdasarkan catatan WALHI, dalam satu tahun nelayan hanya bisa melaut selama 180 hari. 180 hari sisanya harus alih profesi menjadi kuli kasar atau pedagang asongan. Jumlah nelayan yang meninggal di laut terus mengalami peningkatan sepanjang tahun 2010-2020.
Tahun 2010 jumlah nelayan yang meninggal tercatat sebanyak 87 orang. Namun pada tahun 2020, jumlahnya terus meningkat menjadi lebih dari 250 orang. Pada masa-masa mendatang, krisis iklim akan memberikan dampak buruk jangka panjang bagi nelayan di Indonesia, diantaranya peningkatan suhu yang memaksa ikan berpindah dari wilayah tropis. Hal ini akan mengurangi pendapatan nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil di Indonesia. Jika demikian, Pemerintah Indonesia terbukti telah gagal, meskipun di berbagai forum internasional sering mengklaim berhasil melakukan adaptasi krisis iklim.
“Kebijakan PIT berbasis kuota akan memperburuk kehidupan nelayan. Setidaknya, 237.280 orang nelayan di Provinsi Maluku (WPP 714, 715 dan 718), misalnya, dipaksa harus bersaing dengan kapal-kapal besar di wilayah tangkap mereka. Inilah bentuk maladaptasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia,” tegas Parid.
Saat ini, kondisi aktual nelayan tradisional yang terdapat di Indonesia, khususnya di Provinsi Maluku dan Maluku Utara tengah bertarung dan berhadapan dengan berbagai industri ekstraktif dan eksploitatif. Menurut Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, kebijakan PIT berbasis kuota akan semakin memberatkan kehidupan mereka dalam melakukan aktivitas produksi di lautnya sendiri akibat harus bersaing dengan nelayan skala besar dengan alat produksi yang lebih masif dalam menangkap ikan.
“KORAL melihat kebijakan Penangkapan Ikan Terukur akan semakin menyingkirkan nelayan tradisional dan kebijakan ini hanya menjadi karpet merah untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan bagi para pemilik modal besar ataupun perusahaan/korporasi perikanan. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan asas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, terutama asas pemerataan, asas peran serta masyarakat serta asas keadilan,” ungkap Susan.
Kebijakan PIT belum memiliki kajian ilmiah tentang dampak yang akan ditimbulkan dan juga bertentangan dengan asas keberlanjutan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo Undang-Undang No. 1 Tahun 2014. Asas keberlanjutan mengandung arti bahwa pemanfaatan sumber daya yang belum diketahui dampaknya harus dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian yang memadai.
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah mengatakan, semua pihak harus sadar bahwa saat ini kondisi laut Indonesia sedang “sakit” dan perlu langkah nyata untuk memulihkannya. Salah satunya dengan tidak mengeluarkan kebijakan yang justru memperparah keadaan.
“Laut Indonesia perlu kita istirahatkan. Harusnya kebijakan pemerintah mengarah pada
pemulihan bukan malah meningkatkan kuota tangkapan,” kata Afdillah.(M)