MA-MA.ID, AMBON: Program pemberdayaan pada kelompok nelayan dinilai masih menyisahkan masalah. Hal itu disebabkan karena program pemberdayaan tidak berbasis pada kebutuhan lokalitas serta mengabaikan nilai-nilai sosial sebagai suatu ikatan yang menjadi spirit dalam menentukan relasi-relasi sosial antar manusianya.
“ Program pemberdayaan kelompok di Maluku maupun pada bidang perikanan tangkap, banyak mengalami permasalahan, kondisi ini tentu pengaruhnya berdampak pada jati diri kelompok sebagai lembaga sosial dalam kehidupan bermasyarakat, “ demikian tulis, Promovendus Pieter M. Ririmasse. S.Pt,. MP dalam disertasinya berjudul Model Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Berbasis Sosial (Studi Kasus Masyarakat Pesisir Di Pulau Ambon) yang disampaikan dalam Ujian Terbuka Promosi Doktor Bidang Ilmu Kelautan yang berlangsung di Aula Lantai II Gedung Rektorat Unpatti, Rabu (12/1)..
Dalam disertasinya Ririmasse menjelaskan, Program pemberdayaan selalu mengalami kegagalan karena disebabkan beberapa alasan baik secara eksternal terkait dengan sistem perekrutan anggota yang tidak berdasarkan pada kelompok kekerabatan. Peran pemerintah maupun sistem pendampingan yang belum maksimal, minimnya informasi, serta terbatasnya sarana dan prasarana untuk aksesbilitas kelompok.
“ Sedangkan secara internal, masih rendahnya kesadaran untuk berperilaku antar anggota dalam kelompok, seperti; kemampuan beretika, kejujuran, rasa kebersamaan, keterbukaan, keadilan, kegotong-royongan dan rasa saling percaya antar sesama anggota, sehingga kondisi ini berdampak pada ketidakmampuan diri anggota dalam kelompok, sekaligus berpengruh terhadap jati diri kelompok sebagai lembaga sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian perlu adanya suatu strategi dalam pemberdayaan jati diri kelembagaan masyarakat, “ terangnya.
Penelitian yang ditulis dalam disertasinya itu ditujukan pada kelompok nelayan purshe shine di Pulau Ambon dengan tujuan mendiskripsikan ketersediaan sumberdaya, menganalisis jaringan sosial berdasarkan struktur jaringan peran aktor dan kekuatan ikatan (tie strength) serta mendeskripsikan modal sosial dan pemberdayaan jati diri kelembagaan, menganalisis hubungan kekuatan ikatan dengan modal sosial serta moda sosial dengan pemberdayaan jati diri kelembagaan serta merumuskan model pemberdayaan jati diri kelembagaan.
Berdasarkan hasil penelitiannya itu Ririmasse menyarankan beberapa hal dalam rangka kerjasama kelompok dalam kegiatan-kegiatan program pemberdayaan, maka tunjukan jati diri sebagai anggota kelompok yang memiliki kehidupan senasib dan sepenanggungan bekerja secara bersama-sama untuk kemajuan kelompok.
Konsep dialogis melalui komunikasi konvergensi dipandang perlu untuk menyatukan perbedaan persepsi diantara individu, kelompok maupun masyarakat., Peningkatan kapasitas kelompok perlu dilakukan kerjasama antar stakeholder atau kelembagaan sesuai fungsi tugas dan perannya untuk dapat menyalurkan informasi dalam bentuk pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, serta informasi lainnya guna meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ririmase juga menyarankan pemerintah daerah melalui dinas teknis perlu melakukan koordinasi serta monitoring terhadap setiap permasalahan maupun kebutuhan yang diperlukan nelayan.
Penelitiannya itu kata Ririmase bisa dijadikan sebagai acuan bagi peneliti-peneliti lainnya untuk mengkaji berbagai permasalahan – permasalahan sosial yang dihadapi oleh nelayan sehingga dapat menambah referensi dan informasi bagi peneliti lain maupun sebagai sumber informasi bagi para stakeholder agar dapat membantu nelayan beserta kelompoknya guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya. (M/bil)