MA-MA.ID, Ambon : Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ambon kolaborasi Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengurus Daerah Maluku menggelar diskusi di aula Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, Sabtu (13/005).
Diskusi dengan tema Kekerasan berbasis gender di media ini digelar dalam rangka memperingati hari pers sedunia yang jatuh pada tanggal 3 Mei 2023.
Selain diskusi, ada juga screening film berjudul Sebelum Besok Kembali dan Art Exhibition yang dihadiri para jurnalis dan mahasiswa FISIP Unpatti Prodi Ilmu Komunikasi.
Diskusi ini menghadirkan Narasumber dari IJTI Pengda Maluku, Divisi Advokasi Kekerasan Seksual AJI Ambon dan Perwakilan Komnas HAM Maluku.
Mengawali pembicaraannya pada sharing seassion dalam diskusi, Christin Sipahelut dari IJTI Pengda Maluku mengatakan, kekerasan berbasis gender di media sangatlah rentan terjadi, meski demikian jika menoleh pada kasus kekerasan berbasis gender khusus di Maluku belum menunjukan angka pastinya.
“ Ancaman, baik verbal maupun non verbal selalu saja ada, saya pernah mengalaminya, memang itu resiko kita sebagai jurnalis. Namun kita bisa mengeliminir resiko itu dengan bekerja secara professional dan menjaga etika profesi, “ jelas Sipahelut yang juga report di TVRI Maluku ini.
Hal serupa disampaikan Joanny FM Pesulima Divisi Advokasi Kekerasan Seksual AJI Ambon, menurutnya, kekerasan berbasis gender di media memang tengah menjadi sorotan, terutama dalam penyajian berita terkadang media mengeyampingkan etika jurnalisme, selain itu sumber yang digunakan kadang tidak berimbang. Imbasnya, korban kekerasan justru menjadi objektivikasi karena indentitas korban secara gambalang diterangkan dalam pemberitaan.
“ Hal seperti ini jelas melanggar kode etik jurnalis, dan sebagai jurnalis tidak diperkenankan menulis berita berdasarkan prasangka dan diskriminasi atas dasar gender, “ jelasnya.
Sementara itu, Yuli Toisutta Perwakilan Komnas HAM Maluku mengatakan, sejauh ini pihaknya secara langsung belum melakukan penanganan langsung atas korban kekerasan berbasis gender khususnya di Maluku. Mungkin lantaran belum adanya laporan korban atas kasus tersebut.
Hanya saja pihaknya dalam penanganan kasus semisal kekerasan seksual yang dilaporkan ke Komnas HAM, pihaknya lebih pada pendekatan pressure kepada pihak berwajib atau menyediakan layanan berupa layanan bantuan hukum dengan melibatkan komunitas penyintas kekerasan seksual agar kasus yang dilaporkan bisa segera ditangani. (PMG)