MA-MA.ID: Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek mengklaim Kurikulum Merdeka merupakan instrumen fleksibel yang bisa diterapkan di semua sekolah.
Kepala BSKAP Anindito Aditomo menyatakan salah satu miskonsepsi tentang Kurikulum Merdeka adalah kurikulum tersebut hanya dapat diterapkan di sekolah yang fasilitasnya lengkap.
“Justru Kurikulum Merdeka itu fleksibel, sehingga dia bisa diterjemahkan, bisa diturunkan, dioperasionalkan menjadi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan sekolah-sekolah di mana pun,” ujarnya dalam Silaturahmi Merdeka Belajar bertema Meluruskan Miskonsepsi Implementasi Kurikulum Merdeka yang digelar daring (21/7/2022).
Pria yang akrab disapa Nino itu menambahkan, “Termasuk sekolah-sekolah di daerah pelosok atau sekolah-sekolah yang mungkin fasilitasnya masih minim (atau) gurunya belum siap.”
Selain itu Nino juga meluruskan beberapa miskonsepsi lainnya mengenai Kurikulum Merdeka. Pertama, dia menegaskan bahwa tujuan dari adanya Kurikulum Merdeka (KM) ini bukanlah ganti kurikulum.
“Kalau kita menempatkan ganti kurikulum sebagai tujuan, maka kita akan sibuk urusan administratif nanti,” katanya.
Nino menjabarkan, urusan administratif ini misalnya berganti istilah atau format dokumen. Oleh sebab itu, Nino mengajak agar Kurikulum Merdeka dilihat sebagai alat untuk mencapai perbaikan kualitas pembelajaran di Indonesia.
Miskonsepsi selanjutnya, menurut Nino seakan-akan terdapat penerapan Kurikulum Merdeka yang benar atau salah secara absolut. Ia meyakinkan tidak ada hal semacam ini dalam implementasinya.
“Benar (atau) salahnya itu tidak absolut, tapi kontekstual. Kurikulum Merdeka diterapkan di sekolah A akan berbeda dengan Kurikulum Merdeka diterapkan di sekolah B,” ujarnya.
Perbedaan ini disebabkan oleh ketidaksamaan kebutuhan dan karakteristik siswa, serta fasilitas yang ada di sekolah.
“Kriteria salah-benar Kurikulum Merdeka adalah apakah penerapan itu menstimulasi tumbuh kembang karakter dan kompetensi anak didik kita. Itu kriteria utamanya,” pungkasnya.
Nino menyebutkan, yang bisa menilai apakah implementasi Kurikulum Merdeka ini salah atau tidak adalah guru-guru. Selain itu, tidak ada vonis salah benar dari instruktur Kurikulum Merdeka nasional.
Kemudian, terdapat miskonsepsi di mana sekolah harus menunggu pelatihan dari pusat untuk dapat mengimplementasikan Kurikulum Merdeka.
Ia menuturkan, peran Kemendikbudristek adalah menyediakan sumber daya atau perangkat pembelajaran agar bisa digunakan oleh guru dan sekolah secara mandiri. Kepala BSKAP itu mengatakan, semua sekolah dan guru harus berusaha memahami dan menerjemahkan secara mandiri untuk konteks masing-masing.
“Tidak perlu menunggu pelatihan dari pusat. Kita percaya bahwa guru dan sekolah bisa mengambil inisiatif untuk mengembangkan kapasitasnya secara mandiri,” ucapnya.
“Tidak ada pelatihan yang seragam, tidak ada pelatihan yang seolah-olah mengasumsikan dari pusat kita yang paling tahu langkah-langkah terbaik, langkah-langkah baku, resep yang bisa diterapkan di semua sekolah,” jelasnya.
Miskonsepsi lainnya menurut Nino di mana guru dan sekolah bisa menerapkan Kurikulum Merdeka secara instan setelah sekali belajar.
“Jadi sekali belajar, sekali ikut pelatihan langsung bisa langsung tuntas. Tidak ada proses belajar seperti itu, apalagi untuk urusan sekompleks menerapkan kurikulum baru untuk mengubah cara kita mengajar,” sebut Nino.
Dia menyampaikan bahwa proses mempelajari Kurikulum Merdeka ini bisa mengalami maju-mundur dan naik-turun, menurutnya hal ini memang wajar. Namun, yang penting terus menerapkan siklusnya dan merefleksikannya. (detik.com)