Oleh: Saleh Watiheluw (Pemerhati Pembangunan Maluku)
MA-MA.ID, Ambon: Apa problem Calon Daerah Otonom Baru (CDOB) di Maluku? problem CDOB Maluku tidak lain adalah masalah yang masih menjadi problematika yang secara teknis harus dipecahkan dan diselesaikan bersama, antara pemerintah daerah dan konsursium pemekaran.
Harapannya yang paling penting dan utama adalah diperlukan adanya good wil pemerintah daerah kab/kota/provinsi untuk membantu penyelesaikan kekurangan terhadap dua hal pokok; pertama, persyaratan cakupan wilayah administrasi terkait dengan jumlah kecamatan dan kedua, dukungan/persetujuan bersama Pemda dan DPRD (kabupaten induk).
Konsorsium CDOB boleh bicara dan berjuang dan menyiapakan semua syarat, mulai dari naska akademik hingga dukungan masyarakat, akan tapi ketika pemerintah Kab/Kota tidak mendukung, artinya sama saja perjuangan menjadi sia-sia.
CDOB Dalam Perspektif Kerakyatan
Dari perpektif kerakyatan, sesungguhnya pemekaran Calon Daerah Otonomi Baru (CDOB) memiliki misi tidak lain adalah upaya mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat, mengurai dan memotong rentang kendali, mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik.
Lebih jauh adalah upaya mempercepat pemenuhan kebutuhan masyarakat baik sandang maupun papan serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Jadi pemekaran adalah misi mulia karena disana terkait dengan harkat dan martabat kehidupan masyarakat banyak. Inilah esensi dasar yang dimaksud dalam perspektif kerakyatan.
Setidaknya kita boleh liàt contoh nyata sejak tahun 1999-2016 terjadi pemekaran Kabupaten Buru, SBT, SBB, MTB, KotaTual, MBD, Buru Selatan. Meskipun dalam perjalanan ada plus minusnya, kita bisa bayangkan kalau daerah-daerah tersebut tidak dimekarkan apa yang terjadi? Jawaban pada masing-masing diri sendiri.
Sekarang proses pemekaran CDOB tertahan karena kebijakan moratorium oleh pemerintah pusat dan pada saatnya akan dibuka/cabut. Agak aneh kalau masih ada kepala daerah atau siapa saja yang tidak mendukung misi pemekaran, artinya belum memahani perkembangan dan perubahan sosial kemasyarakatan saat ini, baik secara nasional, regional maupun provinsi.
Bukankah perjuangan pemekaran sesungguhnya sejalan dengan arah sabagaimana diatur dalam UU Nomor 23 tahun 2014, tentang pemerintahan daerah. Mestinya ruang dan peluang yang telah diberikan oleh negara perlu diraih untuk menjawab kebutuhan kemasyarakatan. Mestinya proses pemekaran didukung sepenuhnya oleh pemerintah daerah, sebagaimana di provinsi-provinsi lain.
Percakapan tentang perjuangan pemekaran di Maluku bukan hal baru, karena sejak tahun 2000 sudah ada hasil survei dan kajian Bappeda Provinsi Maluku, tentang pembentukan DOB.
Upaya ke-13 Konsursium Pemekaran DOB memang harus diakui masih terdapat kekurangan secara administrasi, dimana sebenarnya kekurangan dimaksud ada di tangan pemerintah daerah kabupaten sendiri sesuai kewenangan yang diatur dalam regulasi ini fakta.
Masih ada Sikap Skeptis
Kita boleh berbeda pandangan, bahwa apakah dengan Pemda PROV/Kab/Kota ataukah dengan siapa saja, asalkan dapat dan mampu memberikan argumen yang rasional, akademik tentang ketidak setujuan terhadap perjuangan pemekaran DOB.
Memang tidak bisa disangkal, bahwa perjuangan pemekaran satu DOB apakah Kab/Kota/Prov sangat beririsan dengan dua kepentingan, yaitu kepentingan politik dan kedua kepentingan kerakyatan.
Ketika seorang kepala daerah selalu mengedepankan pertimbangan kepentingan politik, itu pertanda belum mampu membaca suara hati nurani rakyat, artinya tidak berpihak kepada rakyatnya.
Tidak ada yang rugi, jika suatu wilayah dimekarkan ketika rakyatnya menghendaki dan sebaliknya, jika tidak mekar justru semakin bertambah persoalan kerakyatan, akhirnya masyarakat terus merugi dan merugi.
Maluku butuh pemekaran sebagai salah satu solusi dan jawaban pembangunan, memajukan masyarakatnya dalam berbagai aspek kehidupan kerekyatan. (***)